Enyahlah kau dari hidupku!
Ritual Embun
Kepada Ummi
Jatuh satu-satu ke halaman hatiku
Kau bagai bening airmata itu
Pohonan tumbuh menyembul urat-darah-dagingku
Menghijaukan rasa diam-diam
Hingga, tak ada cinta tersisa
kecuali hanya untukmu
Sumenep, 2011
Tanah Itu
- Almarhumah Ibunda Tercinta
Tanah itu mengekalkan kesedihanku, ibu
Disaat orang-orang mengasah airmata pisau
Wajahmu tergantung di daun mataku
Lalu mengembalikan aku ke masa lalu
Aku lahir dari keringat kuningmu
Dimana rahimmu yang semerbak bunga
Membuat hatiku rindu
Untuk kembali melukis tangisan pertama
Sebab, antara seru dan tawamu
Aku menemukan tulusnya pengorbanan
Tanah itu, ibu
Tanah yang menyimpan kenangan
Dari sederet kisah yang kau ceritakan
Saat aku masih menyecap manis susumu
Lalu kau membawaku berlari-lari di halaman
Sambil kau ajari aku mencumbui luka
: Segala yang yang tersisa dari senja
Adalah kekalnya cinta
Tanah itu, ibu
Telah mengekalkan kesedihanku
Lalu kembali melahirkan aku dari rahim waktu
Dari luka yang kau sebut kematian.
Sumenep, 04 April 2011
Tahiyatku Terpenggal di Ujung Batas
Malam ini, entah malam yang ke berapa
Aku membawa kefanaan hidup ini kepadamu.
Takbirku meruang-raung di rongga dada
Memecah hening yang bening.
Kosong
Selalu saja ada yang hilang dari rakaatku
Sujudku tak tuntas
Tahiyatku terpenggal di ujung batas
Absurd
Aku semakin kehilangan arah rumahmu
Jalanan yang dulu kulalui telah berubah warna
Kau seperti bayangan tubuhku yang di terpa lelampu itu
Hingga aku kehilangan wujudku yang sebenarnya
Ah....
Masihkah kesunyian itu akan mengekalkan rindu?
Sementara derap langkah seribu purnama
Telah melemparku pada kealphaan yang sempurna
Dan keterasingan selalu melahirkan luka-luka baru.
2010
Jika Malam Ini Jibril Tak Turun
Jika malam ini Jibril tak turun
Suara hujan akan membantun di dasar laut
Dan angin akan mengantar rinduku ke pematang sunyimu
Matamu lindap
Menari-nari di ujung senyap
Menyekap jiwaku yang rantau di musim kemarau.
Selalu aku merasa bingung mencari senyuman pertamamu
Yang hanyut dalam tenggorokanku: dulu, saat gerimis masih mengamini doa-doaku
Lalu menyihirku menjadi pujangga yang selalu ingin bermain bunga
Di halaman rumahmu
Bahkan, tak kukenal lagi segerombolan awan yang berarak ke matamu
Juga helaian rambutmu yang tertinggal di bajuku
Maka malam ini,
Kembali kusulam kenangan yang berserakan di kamarku
Tapi gerhana
Langit dan bumi dalam jiwa
Telah sempurna kehilangan cahaya.
Sumenep, 2010
MOKSA
Pada hembusan angin yang berpacu dalam tubuh
Selalu kusebut namamu, kekasih
Sungguh pun aku tak tahu lagi membedakan
Gelombang atau rinduku yang gemuruh sepanjang waktu
Sunyi-bunyi
Bunyi-sunyi
Tak henti aku memuji
Di sinilah tubuh-tubuh asing itu belari
Mengejar bayangannya sendiri
Mencari tepi yang nisbi
Di balik puisi dan secangkir kopi
Bahkan, tak perlu kau ceritakan tentang kecupan pertamamu
Yang membekas di keningku
Sebab aroma tubuhmu telah mengalir ke tenggorokan
Lalu mendanau di hatiku
Hingga tak ada seorang pun yang tahu
Bahwa kita saling merindu.
Sumenep, 2010
Ritual Embun
Jatuh satu-satu ke halaman hatiku
Kau bagai bening airmata itu
Pohonan tumbuh menyembul urat-darah-dagingku
Menghijaukan rasa diam-diam
Hingga, tak ada cinta tersisa
kecuali hanya untukmu
Sumenep, 2011
Sebab Waktu Mengekalkan Rindu
Sebab waktu mengekalkan rindu
Izinkan aku membaca sajak yang memburai di tubuhmu
1
Rambutmu: dibelai sunyi
laki-laki berlarian mengejar mimpi sepanjang kemarau
menggugurkan helai rambutmu
seperti juga aku, membelai cemas dan diremas sesal yang tak usai
: pisau meresap ke jantungku, mencipta irisan luka-luka sangsai
o, betapa jarak tak pernah selesai mengurai kenangan
hingga tak sempat kuhapus segala sisa yang mendera
: hidup adalah belajar menerima dan selalu terluka
2
Matamu: sketsa bulan
awan berarak ke langitmu
burung-burung beterbangan mencari sisa luka yang kau buang di tikungan
juga apa yang telah retak di bening matamu
: hujan tumpah membanjiri kenangan
lalu aku belajar cinta kepada rasa yang bernama kehilangan
juga melulu cumbu pada apa yang kau sebut dengan masa lalu
agar sampai tangisku ke matamu
dan semoga tangismu mengembalikan aku pada halaman rumah-Nya
3
Pipimu: semu merah
bayang-bayang masa lalu bagai lelatu, berlompatan
setinggi langit mengabarkan kehilangan
duka yang tersisa dari sebuah peristiwa
mengembalikan aku pada luka yang menganga
bukankah sejak lama kau kehilangan?
dan aku tak sempat menemukannya di kolong ranjang
4
Bibirmu: merah bara
aku berharap masa lalu itu segera padam
biar dingin merajai malam-malam yang tertikam
tapi, tungku itu telah terlanjur kehilangan cinta
bara api membakar segala kegelisahan
aroma bangkai kenangan dan masa lampau
mengisahkan segala yang ranjau
mengabarkan betapa sulitnya mengubur pisau dalam diri
ah, betapa hangus kisah yang kau lukis di hariku
hingga cinta harus diberangus dalam beku darahku
5
Jemarimu: kebengisan hari-hari
sambil menghitung sisa usia, aku senandungkan nestapa
pada lembaran hari yang terkoyak
wajah-wajah pucat tersekat diantara reruntuhan puing-puing kenangan
meleburkan segala yang tersisa
dari luka masa lalu yang kutanggalkan diam-diam
6
Kakimu: Puncak perjalanan
bagi setiap keberangkatan, badai hanyalah titik terjauh
yang harus ditempuh
tak ada yang harus disesali dari perjalanan
sebab hidup sekedar singgah untuk hilangkan lelah
maka aku menapak jejak ke puncak koyak
mencumbui segala luka yang mendera.
Sebab waktu mengekalkan rindu
Izinkan aku mencintaimu dengan sisa kepedihan masa lalu.
Sumenep, 24 Maret 2011
Fragmen Senja I
lalu sampailah kita pada senja
yang tanggal di bulan juli
maka aku, lelaki yang selalu mencumbui kehangatan sunyimu
izinkan untuk mengurai kenangan yang tersisa dari masa lalu.
mungkin, inilah yang kau sebut perpisahan
luka-luka baru bagai kunang-kunang
yang mencemaskan cuaca malam
juga tapa burung di dahan-dahan
mengajarkan kesetiaan
aku datang mengamini gumammu di jantung sunyi
disaat orang-orang samadi mengemasi mimpi
dari sekian kisah yang terpenggal di ujung hari
: aku dan kau mempertemukan doa suci
dan, seperti juga kau, aku rasakan getaran
jarum jam serupa jarak yang mengajarkan kebersamaan
ataukah desahan yang tak usai-usai
menciptakan kegetiran di jantung ngarai
maka tak perlu kau tumpahkan airmata kesedihan itu
sebab bahagia dan derita
sama-sama membutuhkan airmata
untuk menikmatinya
ya, aku mencipta kesetiaan atas perpisahan
sebab senja adalah waktu yang mengekalkan
jarak siang dengan malam
begitu pun sua kita.
Sumenep, 05 Juli 2010
Fragmen Senja II
Aku ingin kembali mencumbui pertemuan
Disaat anak-anak berlarian menjelma sebentuk ruang
Yang mempertemukan sudut malam dan ujung siang
Sementara kau, semakin kehilangan wujud asli
padahal bebayang itu tak lagi sendiri
menafakuri hari yang tergores dalam diri
Senja ini, senja yang mengekalkan rindu kita
di antara yang hilang dan berlalu
kita adalah nestapa di alir hulu
dan kita mencari-cari sisa
di antara peristiwa yang tertunda
sambil belajar cinta pada rasa yang kau sebut duka
Lalu sampailah kita pada senja yang terluka
sebab setiap pertemuan pasti melahirkan perpisahan
dan setiap perpisahan akan melahirkan luka-luka baru
Sumenep, 2011
Mengejar Bayang-bayang
Semakin jauh kukejar
Bayang-bayang makin menghindar
: Begitu pun denganmu.
Sumenep, 03 April 2011